Satu Sisi Kolonialisasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Segi positif kolonialisme

Kolonialisme Belanda berjasa besar. Tanpa penjajahan yang dilakukan Belanda, Indonesia tidak akan pernah menjadi seperti sekarang (Pramoedya Ananta Toer, Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir).

Menelisik lebih mendalam, kolonialisasi berdampak bagaikan dua sisi mata uang, memberikan kepedihan mendalam bagi pribumi di satu sisi, sementara di sudut berlawanan pembaharuan serta perbaikan adalah buah dari kolonialisme. Nusantara bagaikan gabus pengapung Belanda, tetapi warisannya menjadikan kita kaya. Gereja, kehidupan sastra, pendidikan ala Belanda, serta sistem lembaga sosial yang dibangun mampu menumbuhkan modernitas di wilayah koloni.

Perusahaan dagang asal Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), berdiri 1602, memainkan politik cantik yang mampu mengikat nusantara, selain sebagai lumbung harta karun, untuk senantiasa tunduk lewat lembaga-lembaga yang ditelurkannya.

Gereja menjadi potret sebuah lembaga yang memainkankan peran signifikan bagi nusantara. Berisi para pendeta yang merupakan pegawai-pegawai VOC berpangkat di bawah pedagang yunior. Gereja difungsikan untuk mengalihkan agama Katholik Roma yang dianut pribumi karena ketersinggungan dengan Portugis menjadi penganut Kalvinis gereja reformasi. Meski nusantara tak pernah dianggap sebagai wilayah penyebaran agama karena keterbatasan pendeta serta penghematan anggaran pengeluaran, pelayanan gereja sebenarnya menjadi kebutuhan wilayah koloni. Pelayanan yang diberikan meliputi pemberkatan pernikahan, pemakaman, serta pemberkatan dalam acara-acara resmi.

Keterbatasan jumlah pendeta memaksa VOC harus mempekerjakan para pelayan gereja. Mereka ditugaskan untuk mengunjungi orang sakit dan memimpin do’a ketika tak ada pendeta. Mereka mendo’akan para penjahat yang sedang menjalani hukuman dan mengawasi lembaga amal gereja. Kekurangcakapan yang timbul akibat rendahnya pendidikan formal yang mereka miliki, menjadikan keberadaannya tak dipandang tinggi oleh masyarakat. Guna mengatasi minimnya jumlah pendeta di wilayah koloni, VOC memberikan beasiswa kepada para pelajar Belanda untuk belajar agama. VOC membuka sekolah pelatihan di Leiden, 1622, dengan 12 orang murid yang salah satunya ialah Nicolaus Molinaeus, pendeta gereja Portugis di Batavia. Akan tetapi, upaya ini dihentikan pada 1634.

Para pendeta, meski dalam jumlah kecil, memiliki minat dalam ilmu pengetahuan, seperti kesusastraan. Kamus, terjemahan, serta narasi sejarah ialah karya yang menggeliatkan dunia sastra, buah kerja para pendeta. Drs. Caspar Wiltens menyusun kamus Nederduitsch en Maleisch Woordenboek (Kamus Belanda-Melayu, 1623), Justus Heurnius menyusun kamus, terjemahan Injil, kisah rasul, dan lagu pujian dalam bahasa Melayu, Johannes Roman menyusun terjemahan buku tanya-jawab keagamaan, Sepuluh Perintah Allah, dan do’a dalam bahasa Melayu. Di bidang linguistik, Herbert de Jager, meneliti hubungan antara bahasa Jawa Kuno, Sansekerta, dan Tamil. Sementara lima jilid Oud en Nieuw Oost-Indien (Hindia Timur Lama dan Baru) adalah buah karya Francois Valentijn, pendeta yang bertugas di Ambon 1685-1695 dan 1707-1713, yang menjadi umber utama sejarah kolonial.

Cornelis Matelief, pimpinan armada VOC, membuka sekolah Belanda pertama di Ambon. Dia mengangkat Johannes Wogma untuk memberikan pelajaran membaca, menulis, aritmatika, serta do’a-do’a dalam bahasa Belanda bagi anak-anak Ambon dengan gaji 18 gulden. Sementara itu, Batavia hanya memiliki empat sekolah yang difungsikan untuk mendidik agama dan kepatuhan, pertengahan abad XVII. Para lulusannya hanya berharap kelak diangkat sebagai prajurit, pengrajin, serta juru tulis oleh VOC. Selain terbatasnya jumlah guru bekualitas, VOC juga kekurangan buku sebagai bahan ajar. Buku sekolah baru dicetak di Batavia, misalnya buku “Lagu-lagu Moral untuk Para Pemuda Batavia” karya J.J. Steendam, pada 1671 dalam bahasa Belanda.

Dibawah kepemimpinan gubernur jenderal van Diemen didirikan sekolah Latin, 1642, dengan 12 orang murid keturunan Belanda dan Indies. Bahasa Latin, yang menjadi bahasa kaum intelektual, wajib diterapkan oleh para murid. Biaya operasional sekolah ini ditanggung bersama oleh pemerintah, panti asuhan, serta sumbangan gereja. Namun, sekolah ini akhirnya tutup pada 1656 karena kekurangtertarikan para murid dan sebelas dari dua belas mantan muridnya dipekerjakan oleh VOC.

Permasalahan sosial yang ditimbulkan akibat benyaknya anak yatim piatu karena tingginya angka kematian diatasi pemerintah kolonial dengan mendirikan panti asuhan. 1624, panti asuhan pertama berdiri di Batavia dan mengurus anak-anak yatim piatu yang berasal dari kalangan pribumi Kristen, Indies, dan Belanda. Mereka diberi keterampilan menjahit, bagi perempuan, serta berdagang, membuat layar kapal, dan tukang sepatu bagi laki-laki. Setelah meninggalkan panti asuhan, anak-anak ini diharapkan mampu menghormati orang lain serta lancar berbahasa Belanda. Terwujudnya keteraturan sosial menjadi tujuan utama didirikannya panti asuhan.

Tak melulu mengenai keterpurukan, nyatanya kolonialisme memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial nusantara. Jejak yang mewujud melalui lembaga-lembaga yang didirikan masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Gereja yang mengurus kehidupan beragama, warisan kesusastraan, edukasi bagi pribumi, serta panti asuhan yang berfungsi menciptakan keteraturan sosial, merupakan bagian lain dari adanya kolonialisasi. Tak perlu apatis maupun skeptis, cukup bersikap kritis terhadap kolonialisme.

 

PRIMA DWIANTO

Alumni Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UGM

 

(Sumber gambar: sejarah-nusantara.anri.go.id)

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
prima dwianto

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua